BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM
SUSUNAN KEPENGURUSAN ROHIS KURMA 17 AKHWAT
KETUA: NUR FAIDAR KHUSNUL KHATIMAH
SEKRETARIS: A. NURUL HANIFAH
BENDAHARA: HERSYAH AINUN
DEPARTEMEN DAKWAH
KOORD: INDRI FEBRIANI
ANGGOTA:
ZUHDINA GAZALI
HUSNUL KHATIMAH TALIB
A. BATARI TOJA
A. TENRI ULENG
SITI WIRA SISWATI
WA ODE AISYAH
ANNISA MUTIARA KARIM
BADRI AINUN TAUFIQ
SAPHIRA NOER SAKINAH
NURUL KHAERUNNISA
NUR INDAH ASNI
ARIQAH KHANZANA
AINUN SALSABILA
ALIFIYA HIDAYANI
ALYA SURYA D
A NABILAH AHMAD
NAHDAH DZHAFIRAH
AISYAH NURUL SALSABILA
DEPARTEMEN HUMAS
KOORD: AFDHALIYAH ANNISA
ANGGOTA:
NUR FITRIANI LIHAWA
A. HARDIYANTI ARSYAD
JUZTIKA ANDRIANI
YAUMI MUTHMAINNAH
RINA ANGGREINI
IRMADHELA ASABILA
AFIFAH ILHAM
AMELIA
RIFDAH AFIFAH
DWI PUTRI MULYANI
ANDI ANNISA TL
NURLATIFAH AMALIA R
LATHIFAH MARDHIYYAH
DEVITA LISALDY
SRI RESKY AMALIA
FIRMASARI ZAHLAN
DEPARTEMEN INFOKOM
KOORD: NURUL IKHSANI UMAR
ANGGOTA:
AINUN MAULIDYA
HUSNUL AWALIA
A. KHALISHAH
AYU ANDINI WULANDARI
ANFAUZIYAH EKA LESTARI
A JIHAN NASHILA
CHYNIKA
AISYAH LUKMAN
NURUL MUQARRIBAH
ADELIA WIDYA
FITRAH AISYAH
SASKIA KHAIRUNNISA ZALI
NUR ANNISA AL KHUBRA S
RUSMAINNAH
NIDYA ANASTASIA N
TENRI INDAH
NURUL HIKMAH MEILANI
ULNA YANASRI AMRY
INAYAH AFIFAH
DEPARTEMEN DANUS
KOORD: ANNISA BITTARI
ANGGOTA:
NURUL ROFIFAH
BELLA ANISHA AL HAYYU
ADE SURIYANTI
ALIFIYAH NUR UMAYRAH
ANDI NURUL QALBY
HUMAIRA UTAMI
IFFAH ALIFAH
NURUL RACHMAH
NUR ZHAFIRA MASITA
SHELLA ROSEMITHA SARI
SRI WAHYUNI K
PUTRI DWI WULANDARI
FIKHRI ASTINA
BULAN RHEA
Kurma 17 Akhwat
Karena Jalan Dakwah Tidak Hanya Sampai Di Sini
Senin, 03 November 2014
Jumat, 01 Agustus 2014
Puasa Syawal
Bismillahhirrahmanirrahim,
berhubung sekarang kita sedang berada di bulan syawal, maka pembahasan blog
kali ini adalah mengenai keutamaan dan tata cara puasa syawal, Selamat membaca
ukhti :)
A) Keutamaan Puasa Enam
Hari Bulan Syawal
Apa
hukumnya puasa enam hari bulan Syawal, apakah wajib?
Puasa
enam hari bulan Syawal selepas mengerjakan puasa wajib bulan Ramadhan adalah
amalan sunnat yang dianjurkan bukan wajib. Seorang muslim dianjurkan
mengerjakan puasa enam hari bulan Syawal. Banyak sekali keutamaan dan pahala
yang besar bagi puasa ini. Diantaranya, barangsiapa yang mengerjakannya niscaya
dituliskan baginya puasa satu tahun penuh (jika ia berpuasa pada bulan
Ramadhan). Sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah hadits shahih dari Abu Ayyub
Radhiyallahu 'Anhu bahwa Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam bersabda:
"Barangsiapa berpuasa pada bulan Ramadhan lalu diiringinya
dengan puasa enam hari bulan Syawal, berarti ia telah berpuasa setahun
penuh."
(H.R Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa'i dan Ibnu Majah)
(H.R Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa'i dan Ibnu Majah)
Rasulullah
telah menjabarkan lewat sabda beliau:
"Barangsiapa mengerjakan puasa enam hari bulan Syawal
selepas 'Iedul Fitri berarti ia telah menyempurnakan puasa setahun penuh. Dan
setiap kebaikan diganjar sepuluh kali lipat."
Dalam
sebuah riwayat berbunyi:
"Allah telah melipatgandakan setiap kebaikan dengan
sepuluh kali lipat. Puasa bulan Ramadhan setara dengan berpuasa sebanyak
sepuluh bulan. Dan puasa enam hari bulan Syawal yang menggenapkannya satu
tahun."
(H.R An-Nasa'i dan Ibnu Majah dan dicantumkan dalam Shahih At-Targhib).
(H.R An-Nasa'i dan Ibnu Majah dan dicantumkan dalam Shahih At-Targhib).
Ibnu
Khuzaimah meriwayatkan dengan lafazh:
"Puasa bulan Ramadhan setara dengan puasa sepuluh
bulan. Sedang puasa enam hari bulan Syawal setara dengan puasa dua bulan.
Itulah puasa setahun penuh."
Para
ahli fiqih madzhab Hambali dan Syafi'i menegaskan bahwa puasa enam hari bulan
Syawal selepas mengerjakan puasa Ramadhan setara dengan puasa setahun penuh,
karena pelipat gandaan pahala secara umum juga berlaku pada puasa-puasa sunnat.
Dan juga setiap kebaikan dilipat gandakan pahalanya sepuluh kali lipat.
Salah satu faidah terpenting dari pelaksanaan puasa enam hari bulan Syawal ini adalah menutupi kekurangan puasa wajib pada bulan Ramadhan. Sebab puasa yang kita lakukan pada bulan Ramadhan pasti tidak terlepas dari kekurangan atau dosa yang dapat mengurangi keutamaannya. Pada hari kiamat nanti akan diambil pahala puasa sunnat tersebut untuk menutupi kekurangan puasa wajib.
Sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam :
Salah satu faidah terpenting dari pelaksanaan puasa enam hari bulan Syawal ini adalah menutupi kekurangan puasa wajib pada bulan Ramadhan. Sebab puasa yang kita lakukan pada bulan Ramadhan pasti tidak terlepas dari kekurangan atau dosa yang dapat mengurangi keutamaannya. Pada hari kiamat nanti akan diambil pahala puasa sunnat tersebut untuk menutupi kekurangan puasa wajib.
Sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam :
"Amal ibadah yang pertama kali di hisab pada Hari
Kiamat adalah shalat. Allah Ta'ala berkata kepada malaikat -sedang Dia Maha
Mengetahui tentangnya-: "Periksalah ibadah shalat hamba-hamba-Ku, apakah
sempurna ataukah kurang. Jika sempurna maka pahalanya ditulis utuh sempurna.
Jika kurang, maka Allah memerintahkan malaikat: "Periksalah apakah
hamba-Ku itu mengerjakan shalat-shalat sunnat? Jika ia mengerjakannya maka
tutupilah kekurangan shalat wajibnya dengan shalat sunnat itu." Begitu
pulalah dengan amal-amal ibadah lainnya." H.R Abu Dawud
Wallahu a'lam.
Wallahu a'lam.
B. Tata Cara Puasa Syawal
1- Puasa sunnah Syawal dilakukan selama enam hari
Sebagaimana
disebutkan dalam hadits bahwa puasa Syawal itu dilakukan selama enam hari.
Lafazh hadits di atas adalah: “Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian
berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh.”
(HR. Muslim no. 1164).
Dari hadits tersebut, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin berkata, “Yang disunnahkan adalah berpuasa enam hari di bulan Syawal.” (Syarhul Mumti’, 6: 464).
Dari hadits tersebut, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin berkata, “Yang disunnahkan adalah berpuasa enam hari di bulan Syawal.” (Syarhul Mumti’, 6: 464).
2- Lebih utama dilaksanakan sehari setelah Idul
Fithri, namun tidak mengapa jika diakhirkan asalkan masih di bulan Syawal.
Syaikh
Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Para fuqoha
berkata bahwa yang lebih utama, enam hari di atas dilakukan setelah Idul Fithri
(1 Syawal) secara langsung. Ini menunjukkan bersegera dalam melakukan
kebaikan.” (Syarhul Mumti’, 6: 465).
3- Lebih utama dilakukan secara berurutan namun
tidak mengapa jika dilakukan tidak berurutan.
Syaikh
Ibnu ‘Utsaimin juga berkata, “Lebih utama puasa Syawal dilakukan secara berurutan
karena itulah yang umumnya lebih mudah. Itu pun tanda berlomba-lomba dalam hal
yang diperintahkan.” (Idem)
4- Usahakan untuk menunaikan qodho’ puasa terlebih
dahulu agar mendapatkan ganjaran puasa Syawal yaitu puasa setahun penuh.
Ibnu
Rajab Al Hambali rahimahullah berkata, “Siapa yang mempunyai kewajiban
qodho’ puasa Ramadhan, hendaklah ia memulai puasa qodho’nya di bulan Syawal.
Hal itu lebih akan membuat kewajiban seorang muslim menjadi gugur. Bahkan puasa
qodho’ itu lebih utama dari puasa enam hari Syawal.” (Lathoiful Ma’arif,
hal. 391).
Begitu
pula beliau mengatakan, “Siapa yang memulai qodho’ puasa Ramadhan terlebih
dahulu dari puasa Syawal, lalu ia menginginkan puasa enam hari di bulan Syawal
setelah qodho’nya sempurna, maka itu lebih baik. Inilah yang dimaksud dalam
hadits yaitu bagi yang menjalani ibadah puasa Ramadhan lalu mengikuti puasa
enam hari di bulan Syawal. Namun pahala puasa Syawal itu tidak bisa digapai
jika menunaikan qodho’ puasanya di bulan Syawal. Karena puasa enam hari di
bulan Syawal tetap harus dilakukan setelah qodho’ itu dilakukan.” (Lathoiful
Ma’arif, hal. 392).
5- Boleh melakukan puasa
Syawal pada hari Jum’at dan hari Sabtu.
Imam
Nawawi rahimahullah mengatakan, “Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa
dimakruhkan berpuasa pada hari Jum’at secara bersendirian. Namun jika diikuti
puasa sebelum atau sesudahnya atau bertepatan dengan kebiasaan puasa seperti
berpuasa nadzar karena sembuh dari sakit dan bertepatan dengan hari Jum’at,
maka tidaklah makruh.” (Al Majmu’ Syarh Al Muhaddzab, 6: 309).
Hal
ini menunjukkan masih bolehnya berpuasa Syawal pada hari Jum’at karena
bertepatan dengan kebiasaan.
Adapun
berpuasa Syawal pada hari Sabtu juga masih dibolehkan sebagaimana puasa lainnya
yang memiliki sebab masih dibolehkan dilakukan pada hari Sabtu, misalnya jika
melakukan puasa Arafah pada hari Sabtu. Ada fatwa dari Komisi Fatwa Kerajaan
Saudi Arabia berikut ini.
Sumber:
http://islamqa.info/id/7859
http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/tata-cara-puasa-syawal.html
Jumat, 20 Juni 2014
Fiqih Muslimah di Bulan Suci Ramadhan
Dalam kajian ini- dibahas hukum-hukum yang berkaitan dengan wanita secara khusus.
1. Wanita sebagaimana pria disyari’atkan memanfaatkan bulan suci ini
untuk hal-hal yang bermanfaat, dan memperbanyak menggunakan waktu untuk
beribadah. Seperti memperbanyak bacaan Al-Qur’an, dzikir, do’a, shodaqoh
dan lain sebagainya, karena pada bulan ini amal sholeh dilipatgandakan
pahalanya.
2. Mengajarkan kepada anak-anaknya akan nilai bulan Ramadhan bagi
umat Islam, dan membiasakan mereka berpuasa secara bertahap (tadarruj),
serta menerangkan hukum-hukum puasa yang bisa mereka cerna sesuai dengan
tingkat kefahaman yang mereka miliki.
3. Tidak mengabiskan waktu hanya di dapur, dengan membuat berbagai variasi makanan untuk berbuka. Memang wanita
perlu menyiapkan makanan, tetapi jangan sampai hal itu menguras seluruh waktunya, karena ia juga dituntut untuk mengisi waktunya dengan beribadah dan bertaqorrub (mendekatkan diri) kepada Allah.
perlu menyiapkan makanan, tetapi jangan sampai hal itu menguras seluruh waktunya, karena ia juga dituntut untuk mengisi waktunya dengan beribadah dan bertaqorrub (mendekatkan diri) kepada Allah.
4. Melaksanakan shalat pada waktunya (awal waktu)
Hukum berpuasa bagi muslimah berdasarkan umumnya firman Allah SWT (QS. Al-Baqoroh: 183) serta hadits Rasulullah SAW (HR.Bukhori & Muslim), maka para ulama’ ber-ijma’ bahwa hukum puasa bagi muslimah adalah wajib, apabila memenuhi syarat-syarat; antara lain: Islam, akil baligh, muqim, dan tidak ada hal-hal yang menghalangi untuk berpuasa.
Hukum berpuasa bagi muslimah berdasarkan umumnya firman Allah SWT (QS. Al-Baqoroh: 183) serta hadits Rasulullah SAW (HR.Bukhori & Muslim), maka para ulama’ ber-ijma’ bahwa hukum puasa bagi muslimah adalah wajib, apabila memenuhi syarat-syarat; antara lain: Islam, akil baligh, muqim, dan tidak ada hal-hal yang menghalangi untuk berpuasa.
Wanita Shalat Tarawih, I’tikaf dan Lailat al Qodr
- Wanita diperbolehkan untuk melaksanakan shalat tarawih di masjid jika
aman dari fitnah. Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah kalian melarang
wanita untuk mengunjungi masjid-masjid Allah ” (HR. Bukhori). Prilaku
ini juga dilakukan oleh para salafush shaleh. Namun demikian, wanita
diharuskan untuk berhijab (memakai busana muslimah), tidak mengeraskan
suaranya, tidak menampakkan perhiasan-perhiasannya, tidak memakai
angi-wangian, dan keluar dengan izin (ridho) suami atau orang tua.
- Shaf wanita berada dibelakang shof pria, dan sebaik-baik shaf wanita adalah shaf yang di belakang (HR. Muslim).
Tetapi jika ia ke masjid hanya untuk shalat, tidak untuk yang lainnya,
seperti mendengarkan pengajian, mendengarkan bacaan Al-Qur’an (yang
dialunkan dengan baik), maka shalat di rumahnya adalah lebih afdlol.
- Wanita juga diperbolehkan melakukan i’tikaf baik di masjid rumahnya
maupun di masjid yang lain bila tidak menimbulkan fitnah, dan dengan
mendapatkan izin suami, dan sebaiknya masjid yang dipakai i’tikaf
menempel atau sangat berdekatan dengan rumahnya serta terdapat fasilitas
khusus bagi wanita.
- Wanita juga di perbolehkan menggapai ‘lailat al qodr’,
sebagaimana hal tersebut dicontohkan Rasulullah SAW dengan sebagian
isteri beliau.
Wanita Haidh dan Nifas
Shiyam dalam kondisi ini hukumnya haram. Apabila haid atau nifas
keluar meski sesaat sebelum maghrib, ia wajib membatalkan puasanya dan
mengqodo’nya (mengganti) pada waktu yang lain.
Apabila ia suci pada siang hari, maka untuk hari itu ia tidak boleh
berpuasa, sebab pada pagi harinya ia tidak dalam keadaan suci. Apabila
ia suci pada malam hari Ramadhan meskipun sesaat sebelum fajar, maka
puasa pada hari itu wajib atasnya, walaupun ia mandi setelah terbit
fajar.
Wanita Hamil dan Menyusui
a. Jika wanita hamil itu takut akan keselamatan kandungannya, ia boleh berbuka.
b. Apabila kekhawatiran ini terbukti dengan pemeriksaan secara medis
dari dua dokter yang terpercaya, berbuka untuk ibu ini hukumnya wajib,
demi keselamatan janin yang ada dikandungannya.
c. Apabila ibu hamil atau menyusui khawatir akan kesehatan dirinya,
bukan kesehatan anak atau janin, mayoritas ulama’ membolehkan ia
berbuka, dan ia hanya wajib mengqodo’ (mengganti) puasanya. Dalam
keadaan ini ia laksana orang sakit.
d. Apabila ibu hamil atau menyusui
khawatir akan keselamatan janin atau anaknya (setelah para ulama’
sepakat bahwa sang ibu boleh berbuka), mereka berbeda pendapat dalam
hal: Apakah ia
hanya wajib mengqodo’? atau hanya wajib membayar fidyah (memberi makan
orang miskin setiap hari sejumlah hari yang ia tinggalkan)? atau
kedua-duanya qodho’ dan fidyah (memberi makan):
- Ibnu Umar dan Ibnu Abbas membolehkan hanya dengan memberi makan orang miskin setiap hari sejumlah hari yang ditinggalkan.
- Mayoritas ulama’ mewajibkan hanya mengqodho’.
- Sebagian yang lain mewajibkan kedua-duanya; qodho’ dan fidyah.
- DR. Yusuf Qorodhowi dalam Fatawa Mu’ashiroh mengatakan bahwa ia cenderung kepada pendapat yang mengatakan cukup untuk membanyar fidyah (memberi makan orang setiap hari), bagi wanita yang tidak henti-hentinya hamil dan menyusui. Tahun ini hamil, tahun berikutnya menyusui, kemudian hamil dan menyusui, dan seterusnya, sehingga ia tidak mendapatkan kesempatan untuk mengqodho’ puasanya.
- Mayoritas ulama’ mewajibkan hanya mengqodho’.
- Sebagian yang lain mewajibkan kedua-duanya; qodho’ dan fidyah.
- DR. Yusuf Qorodhowi dalam Fatawa Mu’ashiroh mengatakan bahwa ia cenderung kepada pendapat yang mengatakan cukup untuk membanyar fidyah (memberi makan orang setiap hari), bagi wanita yang tidak henti-hentinya hamil dan menyusui. Tahun ini hamil, tahun berikutnya menyusui, kemudian hamil dan menyusui, dan seterusnya, sehingga ia tidak mendapatkan kesempatan untuk mengqodho’ puasanya.
Lanjut DR. Yusuf al-Qorodhowi; apabila kita membebani dengan
mengqodho’ puasa yang tertinggal, berarti ia harus berbuasa beberapa
tahun berturut-turut sertelah itu, dan itu sangat memberatkan, sedangkan
Allah tidak menghendaki kesulitan bagi hambaNya.
Wanita yang Berusia lanjut
Apabila puasa membuatnya sakit, maka dalam kondisi ini ia boleh tidak
berpuasa. Secara umum, orang yang sudah berusia lanjut tidak bisa
diharapkan untuk melaksanakan (mengqodho’) puasa pada tahun-tahun
berikutnya, karena itu ia hanya wajib membayar fidyah (memberi makan
orang miskin).
Wanita dan Tablet Pengentas Haidh
Syekh Ibnu Utsaimin menfatwakan bahwa penggunaan obat tersebut tidak
dianjurkan. Bahkan bisa berakibat tidak baik bagi kesehatan wanita.
Karena haid adalah hal yang telah ditakdirkan bagi wanita, dan kaum wanita di masa Rasulullah SAW tidak pernah membebani diri mereka untuk melakukan hal tersebut. Namun apabila ada yang melakukan, bagaimana hukumnya ?. Jawabnya: Apabila darah benar-benar terhenti, puasanya sah
dan tidak diperintahkan untuk mengulang. Tetapi apabila ia ragu, apakah
darah benar-benar berhenti atau tidak,maka hukumnya seperti wanita
haid, ia tidak boleh melakukan puasa. ( Masa’il ash Shiyam h. 63 &
Jami’u Ahkam an Nisa’ 2/393)
Mencicipi Masakan
Para ulama’ memfatwakan tidak mengapa wanita mencicipi rasa masakannya,
asal sekedarnya dan tidak sampai di tenggorokan, dalam hal ini
diqiyaskan dengan berkumur. (Jami’u Ahkam an Nisa’).
Demikian panduan ringkas ini, semoga para wanita muslimah dapat
memaksimalkan diri beribadah selama bulan Ramadhan tahun ini, untuk
meraih nilai taqwa.
Sumber: http://www.salimah.or.id/fiqih-puasa-bagi-muslimah/
Langganan:
Postingan (Atom)