Sabtu, 25 Mei 2013

~ ‘Aisyah dan Hijab ~


 بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ



Assalamu’alaykum Warahmatullahi Wabarakatuh

Ukhtifillah, pada postingan kali ini kami akan membahas mngenai Hijab yang saaangattt berarti bagi seorang Aisyah Radhiyallahu Anha. Di simak yah (^o^)/

Aisyah merupakan istri Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan putri dari Abu Bakar As-Siddiq. Ia dijuluki “Ash-Shiddiqah” atau perempuan yang benar dan lurus. Aisyah selalu berkata benar dan melakukan segala yang diperintahkan oleh suaminya. Sama halnya dengan hijab.

Aisyah sangat memerhatikan hijab, terutama setelah ayat-ayat tentang hijab itu diturunkan. Jika Aisyah menginginkan agar seorang murid laki-laki bisa menemuinya, maka ia akan memerintahkan salah seorang kerabat perempuannya - saudarinya atau putri saudarinya – untuk membiarkan air susunya diminum oleh anak laki-laki itu. Hal itu Aisyah lakukan berdasarkan sebuah hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Dengan proses proses penyusuan semacam itu, murid laki-laki itu memiliki status yang sama seperti cucu susuan Aisyah sendiri sehingga ia bisa menemuinya sebagaimana lazimnya dua orang yang memiliki hubungan mahram.

Sementara itu Aisyah tidak pernah menampakkan diri kepada murid-murid laki-laki lain yang tidak disusui dengan cara seperti di atas. Ia selalu membentangkan hijab dan mengajar mereka dari dibalik tirai.
Salah satu bukti bahwa Aisyah sanagt memerhatikan persoalan hijab adalah kenyataan bahwa ia tidak pernah melakukan thawaf bersama kaum laki-laki. Ia selalu melakukan thawaf secara terpisah dari mereka. Ketika seorang perempuan mengajak Aisyah untuk mengusap Hajar Aswad, ia enggan dan menolak ajakan itu. (HR. Bukhari)

Jika Aisyah hendak melaksanakan thawaf pada siang hari, ia memerintahkan agar tempat thawaf dikosongkan dari para laki-laki. (HR. Bukhari dan Ahmad)

Dalam riwayat yang lain disebutkan bahwa Aisyah menutupi wajahnya dengan jilbab saat melakukan thawaf.
Suatu hari, seorang budak laki-laki menemui Aisyah dan menyerahkan sisa uang tebusannya. Maka Aisyah berkata, “Setelah ini, engkau tidak boleh lagi menemuiku. Engkau harus berjihad di jalan Allah.” (HR. Ahmad dan Thabrani)

Sifat wara’ dan ketegasan Aisyah dalam persoalan hijab terlihat ketika ia menerima kunjungan Ishak, seorang tabi’in yang buta, dari balik hijab. Ishak berkata dengan heran, “Mengapa engkau berhijab dariku padahal aku bisa melihatmu?” Aisyah menjawab, “Ya, Engkau memang tidak bisa melihatku. Tetapi, bukankah aku bisa melihatmu ?” Riwayat ini dikutip dari ath-Thabaqat al-Kubra karya Ibnu Sa’ad.

Syariat Islam sama sekali tidak mengharuskan untuk berhijab dari para laki-laki yang telah meninggal dunia. Tetapi, Aisyah selalu menunjukkan sikap wara’ dan perhatian yang besar kepada persoalan hijab. Setelah Umar meninggal dunia dan dikuburkan di rumahnya, Aisyah selau mengenakan hijabsaat berada di sana. Ia berkata, “Dulu, aku mengunjungi kuburan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan Abu Bakar tanpa mengenakanh hijab. Hatiku membatin, ‘Dua orang ini adalah suami dan ayah kandungku.’ Tetapi, setelah Umar dikuburkan si sana juga, demi Allah, aku tidak pernah pergi ke sana tanpa mengenakan pakaian lengkapku. Aku merasa malu kepada Umar.” (HR. Hakim)
Nahh.. Ukht, bgmana skarng ?? Aisyah ra. sangat menghargai dan mementingkan hijabnya. Jika kita ingin menjadi seprti seorang Aisyah ra. ataukah mnjadi seorang muslimah sejati maka mari kita mulai menghargai hijab kita karena hijab adalah izza kita sbgai seorang muslimah.

Sekian dari kami,
Syukran wa Jazakumullahu Khair
Wassalamu’alaykum Warahmatullahi Wabarakatuh J

Kamis, 23 Mei 2013

Ibu Asuh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

~ Ibu Asuh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ~

Dia adalah pengasuh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, yang menemani Aminah dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersiarah ke makam Abdullah, yang mengasuh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ketika Aminah meninggal dunia bersama dengan sang kakek, Abdul Muthalib.
Ummu Aiman ra. adalah seorang wanita yang melimpahkan kasih sayangnya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Wanita ini bersama dengan Fatimah binti Asad membesarkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dengan sepenuh hatinya. Tidak banyak orang yang tahu mengenai wanita yang satu ini.
Nama aslinya adalah Barakah. Dia adalah wanita keturunan Habasyah, budak yang diwarisi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dari Ayah beliau, kemudian beliau memerdekakannya ketika beliau menikah dengan Khadijah. Setelah menjadi wanita merdeka, ia menikah dengan Ubaid bin Harits Al-Khazraji dan dikaruniai seorang anak. Ummu Aiman inilah yang merupakan nama panggilan, karena anaknya bernama Aiman. Ummu Aiman termasuk orang-orang yang pertama masuk islam.
Nama Aiman terukir dalam peristiwa Hijrah dan jihad. Barakah atau Ummu Aiman kemudian menikah dengan Zaid bin Haritsah setelah berpisah dengan suaminya yang dahulu yang tidak mau masuk Islam dan dikaruniai seorang anak yang bernama Usamah bin Zaid, pemuda yang sangat disayangi oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Ketika kaum muslimin hijrah ke Madinah, Ummu Aiman ikut dalam rombongan ini dan terjadilah sebuah kejadian luar biasa. Utsman bin Qasim menceritakan bahwa pada saat Ummu Aiman ikut bersama kaum muslimin ke Madinah, sore hari, ketika sampai di daerah Mansharif (sebelum Rauha), Ummu Aiman yang saat itu puasa merasa sangat lelah dan haus, lalu tiba-tiba ada ember berisi air terikat tali putih menjulur dari langit. Lalu Ummu Aiman meminumnya, setelah kejadian itu ummu aiman tidak pernah merasakan haus, meskipun ketika berpuasa. Betapa besar anugrah yang diperoleh wanita ini.
Ummu Aiman adalah wanita pemberani. Dia tidak pernah takut untuk ikut berperang di jalan Allah Azza Wa Jalla. Terbukti dengan kehadirannya di perang seperti di perang Uhud, perang Khaibar dan perang Hunain. Cobaan dalam hidupnya adalah ketika suami yang dicintainya, Zaid bin Haritsah gugur dalam perang Mu’tah dan anaknya, aiman gugur di perang Hunain.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sangat menyayangi wanita ini dan menganggap bahwa Ummu Aiman adalah ibu keduanya. Begitu pun sebaliknya,  Ummu Aiman akan ikut sedih jika melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sedih dan akan ikut bahagia jika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ikut bahagia.
Banyak berkah yang diberikan Allah Azza Wa Jalla kepada Ummu Aiman, termasuk umur yang panjang. Saat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam meninggal dunia, Ummu Aiman hanya bisa berdiri kaku dan air matanya terus mengalir. Ketika ada seseorang yang bertanya kepadanya, kenapa dia menangis, Ummu Aiman menjawab karena sekarang sudah tidak ada lagi wahyu yang turun. Ummu Aiman diberi umur yang panjang sampai pada masa pemerintahan Utsman ra, Allah Azza Wa Jalla memanggilnya untuk berkumpul dengan orang yang dicintainya disurga, yang dinikmatiya tidak terkira.